KEPEMIMPINAN DAN KEJERNIHAN JIWA
Setiap hari kita diminta membuat keputusan. Mulai dari hal kecil, seperti belok kiri atau kanan, sampai hal besar, seperti akan menikah atau tidak, jika ya lalu dengan siapa, kita diminta untuk memutuskan. Kadang banyak hambatan seperti tak cukup waktu, tak cukup data, tak cukup pengetahuan, dan sebagainya. Namun keputusan tetap harus dibuat.
Di dalam membuat keputusan, orang perlu memperhatikan jiwanya. Aspek
material seperti sumber daya uang ataupun barang tetap perlu
diperhatikan. Namun yang tak kalah penting adalah perhatian pada aspek
gerak jiwa, terutama gerak jiwa para pemegang keputusan. Inilah yang
sekarang ini kerap terlupakan.
Mekanisme Jiwa
Syarat pertama di dalam membuat keputusan adalah kebebasan. Dalam hal
ini kebebasan selalu mencakup dua hal, yakni kebebasan dari tekanan
eksternal, dan kebebasan batin. Kebebasan dari tekanan eksternal cukup
jelas artinya, yakni tidak adanya paksaan dari luar diri. Sementara
kebebasan batin memiliki arti yang sedikit lebih rumit.
Kebebasan batin berarti bebas dari empat hal. Yang pertama adalah bebas
dari keinginan untuk melihat pola pada hal-hal yang sebenarnya tak
berpola. Orang cenderung menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tak
berhubungan. Akibatnya ia terjebak pada kesalahan berpikir, dan akhirnya
pada kesalahan bertindak yang amat mungkin semakin memperbesar masalah.
Yang kedua adalah bebas dari keinginan untuk tunduk pada pandangan umum.
Orang cenderung mendengarkan pendapat orang lain yang tak selalu
memahami keseluruhan konteks dari keputusan yang perlu diambil.
Pandangan orang lain dan pandangan umum seringkali membingungkan dan tak
tepat. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk sungguh berdiam diri,
melakukan refleksi, lalu membuat keputusan berdasarkan pertimbangan diri
dan situasi.
Yang ketiga adalah bebas dari emosi. Kemarahan dan kesedihan seringkali
mendorong orang membuat keputusan terburu-buru. Masalahnya di dalam
situasi marah dan sedih, pikiran tak jernih. Pikiran yang tak jernih
kemungkinan besar bermuara pada keputusan yang salah.
Yang keempat adalah bebas dari prasangka. Tak jarang prasangka mengotori
pandangan kita, dan membuat kita tak melihat realitas apa adanya.
Prasangka bisa lahir dari pengalaman masa lalu yang kemudian di paksakan
untuk saat ini. Prasangka mengaburkan pandangan dan menggiring kita
pada kesalahan.
Keputusan tidak boleh hanya melibatkan aspek material semata, tetapi
juga aspek spiritual. Saya tidak berbicara tentang agama, tetapi
berbicara soal situasi jiwa. Keputusan yang tepat akan membawa
ketenangan pada jiwa. Sementara keputusan yang salah akan membawa
kegelisahan.
Di dalam latihan rohani Ignatius Loyola, yang pertama (ketenangan jiwa)
disebut sebagai konsolasi. Sementara yang kedua (kegelisahan) disebut
sebagai desolasi. Sekilas hal ini terlihat amat sederhana. Namun orang
suka lupa menerapkannya.
Keputusan juga memerlukan komitmen. Jika keputusan sudah dibuat, maka
orang punya tanggung jawab untuk menjalankannya, seberat apapun
keputusan itu. Yang perlu dengan jeli diperhatikan adalah proses
(material maupun spiritual) pembuatan keputusan. Jika sudah keputusan
sudah jadi, jalankan, terima konsekuensi, lalu lakukan evaluasi.
Situasi Kita
Apakah para pemimpin kita di berbagai bidang sudah memperhatikan
mekanisme jiwa di dalam proses pembuatan keputusan? Jawabannya jelas
tidak. Banyak keputusan lahir dari rasa terpaksa, karena tekanan politik
ataupun ekonomi. Akibatnya keputusan itu tidak menyelesaikan, melainkan
justru memperbesar masalah.
Banyak pula keputusan lahir dari kesalahan berpikir. Hal-hal yang tak
berhubungan dilihat seolah terhubung. Lalu kebijakan pun dibuat
berdasarkan hubungan semu tersebut. Tak heran kebijakan itu justru
melahirkan masalah-masalah baru yang sebelumnya tak ada.
Banyak pula keputusan lahir dari emosi yang tak stabil, maupun dari
prasangka, baik itu prasangka etnis, ras, agama, maupun kelas ekonomi.
Keputusan-keputusan yang lahir dari emosi tak stabil ataupun prasangka
tak akan membawa kebaikan. Bahkan kesadaran bahwa banyak keputusan lahir
dalam konteks emosi yang tak stabil dan prasangka pun belum ada. Kita
berjalan menuju jurang, tanpa sadar, bahwa kita berjalan menuju jurang.
Para pemimpin juga tidak berupaya menyadari situasi jiwa, ketika mereka
membuat keputusan. Proses berdiam diri dan berefleksi tak terjadi. Tidak
ada kesempatan untuk melihat jiwa, merasakan ketenangan ataupun
kegelisahan jiwa, yang sebenarnya amat penting di dalam membuat
keputusan. Yang banyak terjadi adalah apa yang disebut Martin Heidegger
sebagai gejala abad ke-20, yakni ketidakberpikiran.
Komitmen juga tak tampak. Berbagai undang-undang dan kebijakan dibuat,
namun pelaksanaannya terhambat. Peraturan bertumpuk namun tak ada yang
berniat memastikan penerapannya. Tanpa ada komitmen aturan dan kebijakan
hanyalah kata tanpa makna.
Maka sekali lagi mekanisme jiwa adalah hal yang amat penting di dalam
pembuatan keputusan. Para pemimpin dan pembuat keputusan harus menengok
ke dalam dirinya sendiri, sebelum mempertimbangkan hal-hal material
keputusannya. Di dalam jiwa terdapat visi jernih yang merupakan komponen
esensial kepemimpinan. Di dalam jiwa terdapat nurani yang sekarang ini
menjadi barang langka di Indonesia.
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala Surabaya
0 Response to "KEPEMIMPINAN DAN KEJERNIHAN JIWA"
Post a Comment